Revolusi Industri Keempat: Memperbaiki atau Justru Menghancurkan?


Oleh : Safira Majory & Putra Prima Raka Kanopi FEBUI https://www.kompasiana.com/kanopi_febui

Hingga awal milenial kedua, kita telah beradaptasi dengan tiga tahap revolusi yang mengubah cara memproduksi barang. Mulai dari penemuan mesin produksi bertenaga uap pada tahun 1782 sebagai revolusi industri pertama; sistem assembly line pada tahun 1870 sebagai awal produksi massa dan revolusi industri kedua; hingga masuknya automasi elektronik ke dalam proses produksi pada tahun 1954 yang sekaligus menandai revolusi tahap ketiga.

Tiga tahapan revolusi industri terbukti menghasilkan dampak jangka panjang yang positif, setidaknya dalam pendapatan riil dan angka harapan hidup. Hingga awal milenial kedua, kita telah beradaptasi dengan tiga tahap revolusi yang mengubah cara memproduksi barang. Mulai dari penemuan mesin produksi bertenaga uap pada tahun 1782 sebagai revolusi industri pertama; sistem assembly line pada tahun 1870 sebagai awal produksi massa dan revolusi industri kedua; hingga masuknya automasi elektronik ke dalam proses produksi pada tahun 1954 yang sekaligus menandai revolusi tahap ketiga.

Tiga tahapan revolusi industri terbukti menghasilkan dampak jangka panjang yang positif, setidaknya dalam pendapatan riil dan angka harapan hidup. Memasuki tahun 2000, kita kembali dihadapkan dengan sebuah revolusi industri yang dikenal dengan Industry 4.0. Namun, revolusi industri keempat ini berbeda dengan revolusi sebelumnya. Proses revolusi tahap keempat ini justru terlihat sebagai ancaman bagi para pekerja, ketimbang meningkatkan produktivitas mereka. Pertanyaannya: “Mengapa revolusi industri keempat berbeda?”

Kelabu di Balik Revolusi: Antara Mesin dan Manusia

Terdapat satu hal pasti yang dibawa oleh revolusi, yaitu inovasi. Inovasi yang lahir dari setiap revolusi dapat menimbulkan dua efek yang berlawanan, yaitu antara Capitalisation Effect atau Destruction Effect. Capitalisation Effect terjadi jika teknologi yang dihasilkan mampu meningkatkan produktivitas para pekerja dan memungkinkan terbukanya pekerjaan baru. Sedangkan, Destruction Effect terjadi jika terobosan teknologi justru menggantikan pekerjaan manusia, menyebabkan ledakan pengangguran dan menghancurkan sistem pekerjaan yang ada.

Pada revolusi industri pertama hingga ketiga, kemunculan teknologi memberikan Capitalisation Effect yang jauh lebih besar ketimbang Destruction Effect.Hal tersebut dikarenakan teknologi yang dibangun masih bersifat people-centric. Artinya, tenaga kerja masih dibutuhkan untuk mengoperasikan teknologi tersebut. Waktu revolusi yang bertahap membuat tenaga pekerja mampu beradaptasi dan bekerja sama dengan teknologi untuk menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar. Hubungan komplementer antara tenaga kerja dan mesin lah yang membuat revolusi industri bersifat membangun. Tetapi dalam revolusi tahap keempat, yang terjadi justru sebaliknya. Inovasi membuat Destruction Effectmenjadi lebih signifikan ketimbang Capitalisation Effect.

Terdapat dua faktor yang membuat revolusi industri saat ini lebih bersifat destruktif. Pertama, karena revolusi saat ini melaju dengan kecepatan yang bersifat eksponensial ketimbang linear. Jika sebelumnya kita membutuhkan 100 tahun untuk merasakan efek dari revolusi industri, saat ini kita hanya butuh waktu kurang dari 10 tahun. Perubahan yang terlalu cepat membuat tenaga kerja hingga institusi tidak memiliki waktu untuk menyesuaikan dengan keadaan.

Ini lah yang kita kenal sebagai disruptive innovation. Sebagai ilustrasi, kemunculan Instagram yang mampu menarik 2 juta pelanggan hanya dalam waktu 5 bulan setelah rilis tidak menyisakan waktu bagi Kodak untuk melakukan inovasi, yang akhirnya membuat Kodak gulung tikar. Begitu juga dengan perkembangan mobil tanpa pengemudi yang hanya membutuhkan waktu 6 tahun, sejak konsep pertama muncul pada tahun 2009, untuk dijual ke publik. Hal tersebut secara langsung mengancam pekerjaan 3,5 juta pengemudi truk dan pekerja transportasi lainnya.

Faktor kedua adalah besarnya perubahan yang dihasilkan. Sifat teknologi yang saat ini telah menjalar pada setiap aspek kehidupan membuat kemunculan inovasi berdampak jauh lebih luas ketimbang sebelumnya. Salah satu yang menjadi perhatian terbesar adalah Artificial Intelligence (AI). Saat ini, AI sedang gencar dikembangkan agar dapat berpikir dan mengambil keputusan layaknya manusia. Berkembangnya AI membuat pekerjaan yang dulu terlihat terlalu kompleks untuk robot — seperti akuntan, pengacara, hingga jurnalis — kini terancam.

Sebuah contoh realistis dapat dilihat pada dunia sepak bola, di mana sebuah teknologi dapat menghilangkan 2 pekerja sekaligus. Goal-Line Technology yang saat ini resmi digunakan di setiap pertandingan, secara langsung menggantikan peran 2 asisten wasit yang biasa berdiri tepat di samping gawang untuk menentukan gol. Terlebih, teknologi Video Asisstant Referee yang sedang dikembangkan FIFA juga berpotensi menggantikan peranan 2 asisten wasit di samping lapangan. Prediksi Universitas Oxford terhadap pekerjaan wasit yang akan terganti oleh teknologi dengan peluang sebesar 98%, terlihat semakin nyata.

Fenomena penggantian ini diprediksi akan terjadi secara global. Negara dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah bahkan memiliki risiko yang sangat tinggi terhadap otomasi. Berdasarkan data dari World Bank, Ethiopia memiliki risiko penggantian tertinggi sebesar 84%. Dengan total penduduk Ethiopia yang hanya sekitar 100 juta orang (per 2013), artinya puluhan juta penduduk Ethiopia berpotensi kehilangan pekerjaannya. Dengan kondisi penduduk yang dilanda kelaparan, tentu kehilangan pekerjaan bukanlah hal yang diinginkan. Bahkan dari prospek pekerjaan, Oxford MartinProgram onTechnology andEmployment memprediksi bahwa 47% pekerjaan lama akan terancam selama satu dekade ke depan, dengan hanya 0,5% pekerja yang berpotensi bekerja di jenis pekerjaan yang baru. Pekerjaan yang terbuka akan semakin sedikit dan terfokus pada bidang teknologi dan informasi yang membutuhkan keahlian tinggi.

Dengan kondisi seperti ini, disparitas pada tenaga kerja, khususnya dari segi keahlian, akan semakin tinggi. Pekerja yang memiliki kemampuan tinggi masih memiliki peluang kecil untuk beralih profesi, sedangkan pekerja yang berasal dari keluarga menengah ke bawah akan semakin tertinggal. Permasalahannya, mayoritas pekerja saat ini tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mendapatkan peluang tersebut. Akibatnya, muncul sebuah generasi yang mungkin ‘tidak dapat diperkerjakan’ dan tidak berpenghasilan yang dapat berakibat buruk bagi ekonomi. Muncul pertanyaan berikutnya: “Apakah ada solusinya?”

The Universal Basic Income: Satu Solusi Untuk Semua?

Dalam menghadapi generasi yang memiliki peluang tidak dapat diperkerjakan, sebuah konsep radikal bernama Universal Basic Incomepun muncul. Universal Basic Income atau UBI adalah pemberian sejumlah uang bulanan dari pemerintah kepada penduduk pada usia legal tanpa kriteria penghasilan dan ketentuan penggunaan uang tertentu.

UBI dapat menjadi solusi yang menguntungkan. Beberapa eksperimen pemberian UBI telah menunjukkan hasil yang mengesankan di beberapa negara. Di Namibia, UBI membuat rata-rata penghasilan naik hingga 29%, sekaligus menurunkan kemiskinan dari 86% menjadi 68%. Angka anak yang menderita malnutrisi pun menurun hingga 42%. Di Uganda, setelah pemerintah memberikan $400 kepada 12.000 penduduk yang berusia 16 sampai 35 tahun selama 5 tahun, penghasilan rata-rata masyarakat meningkat dua kali lipat dengan probabilitas penduduk yang dipekerjakan naik hingga 60%. Di Alaska, penerapan skema sejenis UBI sejak tahun 1992 menurunkan tingkat kemiskinan penduduk asli Amerika dari 25% menjadi 19% dalam waktu 10 tahun. Hasil positif dapat dihasilkan, karena UBI memberikan kebebasan terhadap para penerimanya untuk mengalokasikan uang sesuai prioritas masing-masing. Hal ini berlawanan dengan sistem kesejahteraan sosial yang selalu ditentukan secara agregat dan terlalu menyamaratakan kebutuhan penduduk.

Namun, bukan berarti UBI tidak memiliki kelemahan. Salah satu masalah terbesar yang mengganjal UBI adalah TheSamaritan’s Dilemma. Dengan diberikan uang tanpa prasyarat apapun, muncul kekhawatiran bahwa penerima tidak akan merasa bertanggung jawab terhadap uang yang dimiliki dan menggunakan uang untuk tujuan lain. Terlebih, penerima UBI dapat terlena dengan free moneydan berbalik mematok taraf gaji yang tinggi dan malas untuk memulai pekerjaan. Namun hingga saat ini, kekhawatiran atas The Samaritan’s Dilemmatersebut belum terbukti. Sebuah riset di Dauphin, Amerika Utara, pada tahun 1974 menunjukkan bahwa UBI hanya membuat penurunan jam kerja berkisar antara 1% sampai 5%. Percobaan lain oleh Bank Dunia juga menunjukkan bahwa dari 82% riset di Afrika, Latin Amerika dan Asia, UBI berhasil menurunkan konsumsi masyarakat terhadap alkohol dan rokok.

Oleh karena itu, Universal Basic Income merupakan solusi yang harus dipertimbangkan sebagai solusi ampuh dalam menanggulangi disparitas kerja yang diakibatkan oleh Industry 4.0. Namun, dampak dari Samaritan’s Dilemmatetap harus diperhatikan dalam menentukan kapan UBI mulai diterapkan. Jika UBI diberikan terlalu cepat, atau pada saat negara masih memiliki capitalisation effect yang tinggi, maka UBI hanya akan membuat para pekerja kehilangan produktivitas dan kesempatan untuk meningkatkan standar hidup. Diperlukan persiapan menyeluruh bagi sebuah negara sebelum akhirnya menjalankan UBI, mulai dari kesiapan masyarakat, anggaran hingga waktu.

Oleh Safira Majory & Putra Prima Raka | Kanopi FEB Universitas Indonesia

Referensi:

Schwab, Klaus (2016). The Fourth Industrial Revolution, Switzerland: World Economic Forum

Bregman, Rutger (2016). Utopia for Realist: The case for a Universal Basic Income, Open Borders, and a 15-hour Workweek Germany: The Correspondent

Hardy, Q., 2015. The New York Times: At Kodak, Clinging to a Future Beyond Film.[Online]
Available at: https://www.nytimes.com/2015/03/22/business/at-kodak-clinging-to-a-future-beyond-film.html
[Accessed 25 August 2017].

Kurzweil AI, 2016. Impact of Automation Puts Up to 85% of Jobs in Developing Countries at Risk.[Online]
Available at: http://www.kurzweilai.net/impact-of-automation-puts-up-to-85-of-jobs-in-developing-countries-at-risk
[Accessed 24 August 2017].

Oxford Martin School and Citi, 2016. Technology at Work v2.0,Oxford: Citigroup.

Porter, E., 2016. The New York Times: A Universal Basic Income Is a Poor Tool to Fight Poverty.[Online]
Available at: https://www.nytimes.com/2016/06/01/business/economy/universal-basic-income-poverty.html
[Accessed 25 August 2017]

Bregman, Rutger (2016). Utopia for Realist: The case for a Universal Basic Income, Open Borders, and a 15-hour Workweek Germany: The Correspondent

Hardy, Q., 2015. The New York Times: At Kodak, Clinging to a Future Beyond Film.[Online]
Available at: https://www.nytimes.com/2015/03/22/business/at-kodak-clinging-to-a-future-beyond-film.html
[Accessed 25 August 2017].

Kurzweil AI, 2016. Impact of Automation Puts Up to 85% of Jobs in Developing Countries at Risk.[Online]
Available at: http://www.kurzweilai.net/impact-of-automation-puts-up-to-85-of-jobs-in-developing-countries-at-risk
[Accessed 24 August 2017].

Oxford Martin School and Citi, 2016. Technology at Work v2.0,Oxford: Citigroup.

Porter, E., 2016. The New York Times: A Universal Basic Income Is a Poor Tool to Fight Poverty.[Online]
Available at: https://www.nytimes.com/2016/06/01/business/economy/universal-basic-income-poverty.html
[Accessed 25 August 2017].

Tentang alifis

Apa adanya ...
Pos ini dipublikasikan di Remah2ilmu dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar