Dengarkan Sang Pakar Komodo : Bapa Sastrawan


“Jelas sekali terlihat behavior Komodo kini berubah karena pengaruh manusia. Setiap datang turis, Komodo diumpani kambing. Hasilnya, Komodo yang terbiasa dekat dekat dengan manusia enggan kembali ke habitatnya – itu justru membahayakan dirinya sendiri. Beruntung kebiasaan diumpani sudah dihentikan,” sahut Prof. Ir. IDP Putra Sastrawan, MAg.Sc, Sang Pakar Komodo.

Kondisi komodo di Pulau Komodo dan sekitarnya cukup sehat. Mereka mendapat lingkungan yang ideal bagi pertumbuhannya. Yakni, cuaca yang panas, gersang, dan hewan-hewan calon mangsa yang harus mereka kejar. Kalau cuaca kurang panas, ia akan kekurangan vitamin D yang berguna untuk menguatkan tulang-tulangnya. Jika Komodo mendapat asupan makanan yang lebih dari cukup, maka tubuh komodo semakin menggembung. Sambungan tulang-tulangnya membengkak. Hal itu diperburuk oleh tubuh yang gembrot, komodo malas bergerak. “Tubuhnya semakin gendut sampai tidak bisa bergerak sama sekali. Dia hanya bisa makan terus sampai akhirnya mati.

Artikel ini asli (tidak aq rubah) dari Ciputraentrepreneurship.com dan okezone.com. Sengaja aq publish kembali di blog ini supaya bisa menambah wawasan tentang pentingnya Komodo dan Habitatnya dijaga supaya tetap asli dan alami, seminim-mungkin ada interaksi dengan manusia luar.
—————————————————————————————————alifis@corner

Berkat ketekunannya mengurusi komodo, Prof Putra Sastrawan sangat dikenal di luar negeri. Dia banyak menjadi konsultan kebun binatang yang merawat komodo. Saat ini dia getol mempromosikan komodo sekaligus menjaga kelestariannya. Siapakah dia?

Putra-Sastrawan. Usianya memang sangat senior. Mei tahun depan dia berusia 70 tahun. Rambutnya terlihat tipis dan sudah banyak yang berwarna putih. Tapi, semangat Putra untuk mendorong pelestarian komodo melebihi mereka yang masih muda. Apalagi, pengetahuannya sebagai profesor komodo membuat dia disegani, baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Komodo itu sudah menjadi bagian dari hidup saya,” kata Putra, baru-baru ini.

Bapak tiga anak itu merupakan salah seorang ahli komodo dari Indonesia yang cukup dikenal di luar negeri. Sebab, dia merupakan salah seorang di antara segelintir orang yang sejak awal merawat komodo. Pada 1969, dia ikut terjun langsung di habitat asli reptil purbakala itu di Pulau Komodo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat itu Putra mendampingi Dr Walter Auffenberg dari Florida State Museum University of Florida. Mereka meneliti kehidupan makhluk buas bernama latin varanus komodoensis itu.

Penelitian berlangsung sekitar tiga tahun. Hasil penelitian itu, Auffenberg menerbitkan buku berjudul Behavioral Ecology of Varanus Komodoensis in Komodo Island and the Adjacent Islands. “Buku itu adalah buku monumental tentang komodo yang pernah diterbitkan. Orang menyebutnya the Bible of Komodo (kitab Injilnya Komodo-Red),” katanya.

Putra menuturkan, penelitian yang dilakukan pada 1969 itu benar-benar penuh petualangan. Sebab, kondisi Pulau Komodo masih sangat liar. Pulau itu masih dihuni sekitar 350 orang. Tidak seperti sekarang yang sudah ditempati beberapa ribu jiwa. Tidak ada penginapan dan infrastruktur seperti dermaga dan kapal bertenaga mesin. Meski begitu, Auffenberg berani untuk mengajak istri dan tiga anaknya ikut membantu penelitian tersebut.

Untuk sampai ke Pulau Komodo, mereka harus menggunakan sampan bertenaga angin dari Labuan Bajo, Flores. Waktu tempuh antara Labuan Bajo dan Pulau Komodo tak bisa dipastikan. Kalau angin kencang, bisa cepat sampai. Kalau angin sedang tidak keruan, mereka bisa kesasar sampai Australia. “Tidak seperti sekarang, transportasi lancar. Apa lagi jika angin barat yang berembus, bisa-bisa terdampar di Australia,” kata lelaki asli Bali itu.

Setiap hari, kata Putra, mereka berkeliling Pulau Komodo. Saat malam, mereka mendirikan tenda. Tempat-tempat yang mereka teliti sangat terisolasi dari warga Pulau Komodo. Bahkan, pernah mereka mendirikan tenda yang hanya bisa diakses ketika air laut surut. Kalau air laut sedang pasang, mereka tak bisa ke mana-mana. Untungnya, mereka memiliki sampan bermotor bertenaga 20 PK untuk mobilitas.

Kendati hanya mendampingi Auffenberg, penelitian bertahun-tahun di Pulau Komodo membuat Putra jatuh hati kepada pulau bersuhu panas tersebut. Dia juga mulai dikenal dekat dengan masyarakat Pulau Komodo. Setiap ada acara adat, dia diundang. Mulai upacara perkawinan hingga berbagai selamatan. Sejak saat itulah, Putra yakin bahwa komodo adalah salah satu panggilan hatinya.

Pada 1970, Putra kembali berjibaku di Pulau Komodo. Dia mempelajari preferensi makanan reptil buas itu. Untuk mengumpulkan data-data, dia harus mengumpulkan kotoran komodo. Sampai-sampai dia mengerahkan masyarakat Pulau Komodo untuk mengumpulkan tinja hewan tersebut. “Saya sampai berani bayar tahi komodo per kilogram. Kering atau segar nggak apa-apa,” kata Putra, lantas terkekeh.

Dari tahi komodo itu diperoleh berbagai informasi. Ternyata, komodo gemar makan monyet, rusa, babi hutan, reptil, burung, dan ular. “Itu saya peroleh setelah mengorek-ngorek tahi komodo. Ada kuku rusa yang tidak bisa dicerna, kami temukan utuh di tahinya,” tutur Putra.

Putra akhirnya bisa menyimpulkan bahwa paling tidak ada 13 daftar binatang yang menjadi menu komodo. Namun, terkadang komodo juga perlu selingan makanan. “Kalau sempat, mereka juga makan manusia,” kata mantan kepala Jurusan Biologi, Universitas Udayana, itu lantas tersenyum.

Puluhan tahun menggeluti komodo bukan tanpa cobaan. Putra beberapa kali harus berhadapan dengan koleganya dari luar negeri yang ingin membeli bayi-bayi komodo. Para pembeli bayi komodo itu umumnya datang dari kalangan pemilik kebun binatang “swasta”. Yakni, mereka yang memiliki koleksi reptil yang ditempatkan di lahan luas milik pribadi. Putra dengan tegas menolak. Sebab, itu merupakan pelanggaran hukum serius.

Mantan pembantu rektor Universitas Udayana tersebut menuturkan, kondisi komodo di Pulau Komodo dan sekitarnya cukup sehat. Mereka mendapat lingkungan yang ideal bagi pertumbuhannya. Yakni, cuaca yang panas, gersang, dan hewan-hewan calon mangsa yang harus mereka kejar. Tapi, kata Putra, kondisi itu sangat kontras dengan komodo yang berada di kebun binatang, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Biasanya komodo di kebun binatang tidak mendapat habitat yang pas. Mereka juga terlalu dimanja dengan menu makanan yang banyak. Akibatnya, banyak komodo yang mengalami obesitas. Tubuhnya gendut dan tak banyak bergerak. Komodo-komodo gembul itu bahkan susah mengangkat tubuhnya.

Seperti yang dilihat Putra di kebun binatang Cincinnati, Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat. Komodo malah ditempatkan di dalam kandang dengan tanaman dan rumput yang cukup tinggi. Padahal, komodo seharusnya ditempatkan di tanah pasir dan berbatu.

Begitu juga di kebun binatang Pittsburgh. Komodo ditempatkan di ruangan indoor yang sempit. Akibatnya, ia kekurangan vitamin D yang berguna untuk menguatkan tulang-tulangnya. Komodo itu juga mendapat asupan makanan yang lebih dari cukup.

Akibatnya, tubuh komodo semakin menggembung. Sambungan tulang-tulangnya membengkak. Hal itu diperburuk oleh tubuh yang gembrot, komodo malas bergerak. “Tubuhnya semakin gendut sampai tidak bisa bergerak sama sekali. Dia hanya bisa makan terus sampai akhirnya mati,” katanya.

Sejak saat itu, Putra menjadi semacam konsultan bagi kebun binatang yang merawat komodo. Mulai kebun binatang di Pittsburgh, Nashville, Miami, hingga Toronto, Kanada. Putra menyarankan kepada mereka agar memberikan kandang yang luas bagi komodo. Dia juga meminta agar tanah kandang dibikin gersang dengan pasir. “Mereka nelpon saya, katanya akhirnya komodo sehat dan mau berolahraga,” katanya.

Kondisi serupa juga terjadi di kebun binatang dalam negeri. Terutama kebun binatang yang berada di daerah beriklim adem seperti di Cisarua, Bogor. “Komodo perlu suhu udara yang panas. Di habitat aslinya, suhu tanah sampai 69 derajat Celsius dan suhu udara sampai 45 derajat Celsius,” katanya.

Putra terkadang prihatin terhadap popularitas komodo bagi warga Indonesia sendiri. Berdasar catatan di Balai Taman Nasional Komodo, 90 persen pengunjung datang dari Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan Jerman. Sangat jarang warga negeri sendiri yang mengunjunginya.

Padahal, komodo merupakan warisan abad prasejarah kepada manusia abad modern. Popularitas komodo juga sudah mendunia, bahkan sejak puluhan tahun lalu. Buktinya, komikus kondang asal Belgia, Herge, sampai menggambarkan komodo dalam salah satu episode Petualangan Tintin berjudul Penerbangan 714. Di komik lawas tersebut, Tintin hendak terbang dengan menggunakan pesawat ke Australia dan transit di Bandara Kemayoran, Jakarta. Namun, pesawat tersebut jatuh di Pulau Komodo di mana dia dan katen pilot Haddock secara mengejutkan bertemu dengan komodo.

Putra juga kecewa terhadap ulah sejumlah pihak yang memanfaatkan komodo sebagai komoditas. Dia mengecam pihak yang mengadakan SMS dengan tarif Rp 1.000 per SMS sebagai dukungan Taman Nasional Komodo masuk daftar tujuh keajaiban dunia.

Padahal, SMS itu hanya mengambil keuntungan sesaat atas komodo tanpa memedulikan nasib keberlangsungan hidup hewan purba itu. Apalagi, sebagian hasil SMS tersebut harus disetor kepada LSM asing yang” berpusat di Zurich, Swiss. “Itu hanya keuntungan sesaat tanpa memedulikan nasib komodo,” katanya.

Saat ini Putra sudah pensiun dari dunia kampus. Namun, kepeduliannya terhadap komodo tak ikut pensiun. Putra kini mendirikan Yayasan Komodo Putra. Selain mempromosikan komodo, yayasan tersebut peduli terhadap kelestarian makhluk langka itu. Mereka mendidik para guide dan stake holder agar lebih peka terhadap kelestarian komodo. “Saya ingin mendidik masyarakat supaya anak cucu kita tidak melihat komodo hanya sebagai gambar,” katanya. (*/jpnn)

Sering Diberi Umpan, Bahayakan Eksistensi Komodo

KEBIASAAn mengumpankan mangsa di depan wisatawan, membuat Komodo merasa betah di dekat manusia. Hal ini ternyata memiliki dampak berbahaya terhadap keberlangsungan hewan purba tersebut.

Menurut pendiri Komodo Putra Foundation dan Pakar komodo Dunia di Indonesia, Prof. Ir. IDP Putra Sastrawan, sikap pihak Kehutanan sudah luar biasa dalam pemikiran tentang konservasi dan pengembangan Komodo. Hal itu membuat Komodo tenang di habitatnya.

“Jelas sekali terlihat behavior Komodo kini berubah karena pengaruh manusia. Setiap datang turis, Komodo diumpani kambing. Hasilnya, Komodo yang terbiasa dekat dekat dengan manusia enggan kembali ke habitatnya – itu justru membahayakan dirinya sendiri. Beruntung kebiasaan diumpani sudah dihentikan,” sahut Prof. Ir. IDP Putra Sastrawan, MAg.Sc, ditemui pada acara ‘Pentingnya Pelestarian Komodo’ di Ged. BPPT, Jl. Thamrin, Kamis (25/8/2011).

Ditanya lebih lanjut mengenai perubahan tersebut, Prof. Putra membandingkannya ketika dia awal meneliti Komodo sekira tahun 70an.

“Berbeda waktu saya awal-awal datang ke pulau Komodo, dia masih pemalu. Saya umpankan kambing dia hanya menunggu di depan mangsanya hingga berjam-jam. Begitu saya tinggalkan, kambing sudah habis tak bersisa,” jelasnya.

Meski kebiasaan diumpani telah dihentikan, namun tetap tidak bisa mengembalikan bentuk tubuh Komodo yang dulu dikenal cukup besar.

“Kebiasaan diumpani lambat laun membuat tubuh Komodo shrinking (menyusut). Komodo yang tadinya bisa mencapai 6 meter, kini rata-rata hanya 3 meter saja,” tandasnya.(okezone.com)

Tentang alifis

Apa adanya ...
Pos ini dipublikasikan di Flobamora dan tag , , , , . Tandai permalink.

3 Balasan ke Dengarkan Sang Pakar Komodo : Bapa Sastrawan

  1. ayana berkata:

    good article, easy to understand and very interesting to read. I also found an article with a similar discussion. you can visit the link below http://news.unair.ac.id/2017/12/08/fkh-unair-aktif-selamatkan-satwa-langka/

    Disukai oleh 1 orang

  2. Disna berkata:

    Luar biasa, Indonesia membutuhkan sosok seperti bapak ini.

    Suka

  3. aklahat berkata:

    wah, fotonya menarik sekali!

    Suka

Tinggalkan komentar